Minggu, 08 Februari 2015

Hubungan Bahasa dan Religiositas beserta Contohnya

Hubungan Bahasa dan Religiositas

Bahasa dengan religiositas juga saling berhubungan, baik bahasa terhadap agama maupun religi terhadap bahasa. Religi atau agama seseorang dapat diketahui dengan bahasa yang digunakannya. Sama halnya dengan etnik tadi, bahasa yang digunakan oleh sesorang juga dapat menjadi ciri pembeda, ciri penganal, dan juga menjadi identitas dari agama yang dianutnya. Tidak hanya itu, bahasa yang diungkapkan oleh sesorang juga dapat menunjukkan tingkat atau taraf pemahaman seseorang terhadap agama. Beberapa hal lain yang dapat menunjukkan hubungan bahasa dan agama dijelaskan oleh Ratna (2013) yaitu bahasa menjadi sarana pengungkapan religi atau yang berkaitan dengan agama, bahasa juga dapat memunculkan variasi bahasa agama seperti bahasa latin gereja, dan sebagainya.
Contoh hubungan bahasa dengan religiositas yaitu ketika seseorang sering menggunakan ungkapan yang berkaitan dengan agama maka dapat diketahui agama yang dianut oleh orang tersebut. Tetapi ketika orang tersebut selalu berbicara atau apapun yang dibicarakan selalu menyangkutpautkannya dengan agama, dan seberapa sering orang tersebut berbicara tentang agama berarti itu menunjukkan tingkat atau taraf pemahamannya terhadap agama. Misalanya, orang yang sering mengungkapkan kata Alhamdulillah, Astagfirullah, berarti orang tersebut beragama Islam, tetapi ketika orang itu berbicara dan sering menyangkutkan bahan pembicaraannya dengan agama, itu menunjukkan bahwa orang itu memiliki pemahaman yang mendalam terhadap agama Islam. Begitupun dengan bahasa yang diungkapkan oleh orang yang beragama Hindu, Budha, Kristen Khatolik, dan Kristen Protestan. Tidak hanya itu, efek agama terhadap bahasa juga terlihat pada beberapa topik penelitian seperti topik-topik penelitian yang memungkinkan misalnya pengaruh agama terhadap pemilihan bahasa, pemeliharaan bahasa (language maintenance) juga kosakata-kosakata serapan.

Hubungan Bahasa dan Etnisitas Beserta Contohnya

Hubungan Bahasa dan Etnisitas

Hubungan bahasa dengan etnik sangat jelas karena bahasa dapat menjadi ciri pembeda, ciri pengenal, dan ciri-ciri yang dibawah oleh seseorang menunjukkan identitas etniknya. Orang yang berbicara dengan suku asal yang sama akan menggunakan bahasa daerahnya, tetapi ketika berbeda suku maka akan menggunakan bahasa Indonesia.
              Contoh yang menunjukkan hubungan bahasa dengan etnik. Hubungan itu lebih terlihat dari segi fonetik atau pelapalan. Artinya, ciri etnik itu baru terlihat ketika orang tersebut berbicara. Etnik Bugis yang biasa disebut dengan orang Bugis ketika berbahasa Indonesia cenderung menunjukkan etniknya. Akhiran kata pada bahasa bugis terdiri dari vokal, glottal plosif (?), dan velar nasal (ŋ) sehingga ketika berbicara menggunakan bahasa Indonesia dengan berbeda etnik maka etnik bugis dapat diketahui dengan akhiran pada kata yang digunakan, seperti pengucapan pada kata yang diakhiri dengan fonem velar plosif /k/ menjadi fonem glottal plosif /?/, misalnya pada kata [banyak] menjadi [banya?]. atau pengucapan e- (pepet) menjadi e- (taling) biasa dilakukan oleh etnik Batak, Sumbawa, dan Bima.

Pengertian Slang, Contoh, dan Ciri-cirinya

 Pengertian Slang, Contoh, dan Ciri-cirinya

Slang adalah variasi sosial yang bersifat khusus dan rahasia. Artinya, variasi ini digunakan oleh kalangan tertentu yang sangat terbatas, dan tidak boleh diketahui oleh kalangan di luar kelompok itu (Chaer dan Lionie, 1995: 88). Lebih lanjut Pateda (1990: 55) menyatakan bahwa slang dapat pula diartikan sebagai ucapan popular yang didengar sehari-hari di daerah tertentu atau kata-kata yang berasal dari kolokial yang mengandung kata-kata yang kurang enak didengar. Auburger (dalam Suhardi, dkk., 1995: 166) mengungkapkan bahwa slang adalah suatu bahasa kelompok dengan unsur-unsur yang bersifat memisahkan yang berada di bawah pengaruh linguistik produksi dari sikap-sikap macam tertentu, slang selalu memiliki ciri skatologi dan memberi kesan adanya sekongkolan. Secara singkat menurut Porzig (dalam Suhardi, dkk., 1995: 166) bahwa slang merupakan bahasa sehari-hari dan digunakan sesuka penuturnya. Dari beberapa penjelasan mengenai slang tersebut, dapat disimpulkan bahwa slang adalah salah satu variasi bahasa yang digunakan sebagai bahasa sehari-hari dan digunakan sesuka penuturnya.
a.       Contoh dan ciri-ciri slang bahasa Bugis
Ciri-ciri slang yang dipakai di daerah Bugis Sulawesi Selatan yaitu bahasa tersendiri yang berasal dari bahasa sehari-hari dan digunakan oleh kelompok-kelompok tertentu khususnya remaja dan digunakan seenak mereka. Misalnya Syuballe digunakan oleh remaja-remaja tertentu untuk mengejek temannya, karena kata tersebut memiliki arti yang negatif dan kotor, tetapi teman yang di ejek itu tidak marah karena menurutnya itu sudah biasa buat mereka. Tidak hanya itu, kata tersebut bahkan digunakan sebagai kata sapaan di kalangan mereka. Lain halnya ketika orang lain yang bukan dari kelompok mereka mendengar kata tersebut diungkapkan oleh sekelompok remaja maka orang lain tersebut akan menganggap mereka sedang bertengkar karena saling mengejek, padahal itu merupakan hal yang biasa di kalangan kelompok mereka.


Ammon, Ulrich. 1995. Teori dan Metode Sosiolinguistik II. Terj. Suhardi, Basuki, dkk. Jakarta: Pusat                             Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Pateda, Mansoer. 1990. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.

Pengertian Regiter dan Contohnya

Pengertian Register dan Contohnya

Register adalah pemakaian bahasa yang dihubungkan dengan pekerjaan seseorang (Walkins, Bolinger, dan Appel dalam Pateda, 1990: 64). Sebagaimana hal yang sama juga diungkapkan oleh Chaer dan Lionie (1995: 91) dalam bukunya Sosiolinguistik Perkenalan Awal yang menyatakan bahwa register berkenaan dengan masalah bahasa itu digunakan untuk kegiatan apa. Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa register merupakan salah satu variasi bahasa yang berkaitan dengan penggunaan bahasa dalam ruang lingkup tertentu yaitu pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seorang penutur.

a.       Contoh register
Contoh register adalah seorang penutur yang berasal dari sebuah desa, dia akan berbicara sebagimana dengan lingkungannya, tetapi ketika melakukan suatu kegiatan dan bertemu dengan orang-orang yang berkaitan dengan kegiatannya itu, otomatis dia akan berbicara sesuai dengan kegiatannya. Misalnya, ketika orang tersebut memiliki pekerjaan sebagai pegawai suatu perusahan, dia akan berbicara mengenai pekerjaannya itu dan bahasa-bahasa yang digunakannya sesuai dengan profesinya sebagai seorang pegawai perusahan seperti penggunaan kata ‘Investasi, saham, pengeluaran, penghasilan, produksi, manajemen, komoditas, kualitas, stagnan,  likuiditas, inflasi, profit, nonprofit, dan sebagainya’. Tetapi ketika berada di pasar dan berbicara dengan orang-orang yang ada di pasar, dia akan membuat bahasanya lebih ringan seperti ‘penjual, pembeli, mahal, menawar, dan sebagainya’. Ciri-ciri bahasa yang digunakan orang tersebut yaitu Bahasa tersebut hanya diungkapkan di ruang lingkup tertentu, dia mampu berbicara sesuai dengan konteks di mana dia berada, topik pembicaraan, penggunaan dan pemilihan kata-katanya juga berbeda. 

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Pateda, Mansoer. 1990. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa. 

Perbedaan Bahasa Anak-anak, Remaja, dan Orang Dewasa Beserta Contohnya

Perbedaan Bahasa Anak-anak, remaja, dan Orang Dewasa Beserta Contohnya

Variasi pengguna bahasa ditinjau dari segi usia dapat dilihat dari rentang kanak-kanak, remaja, dan dewasa (Sumarsono, 2008: 135). Perbedaan usia menyebabkan terjadinya perbedaan bahasa karena memberikan perbedaan atas kelompok masyarakat tersebut.
a  a. Bahasa anak-anak
Bahasa pada anak-anak juga berkaitan dengan tahap pemerolehan bahasa pada anak itu.   Bahasa yang pertama dipelajari dan dikuasai oleh anak adalah bahasa ibunya karena bahasa apapun yang digunakan oleh ibunya, anak akan selalu mendengar, tidak hanya setelah lahir, namun juga sebelum lahir. Seorang anak tidak langsung dapat berbahasa dengan baik seperti setelah dewasa, melainkan ada beberapa tahap yang harus dilaluinya. Anak mulai berbicara pada usia kurang lebih 18 bulan. Tahap awal adalah tahap vokalisasi yaitu anak sudah mulai menghasilkan bunyi tetapi belum diidentifikasi sebagai bunyi bahasa. Prabahasa, anak sudah mulai menghasilkan bunyi yaitu bunyi dekur seperti konsonan dan vokal tinggi, anak juga sudah mengahasilkan celoteh untuk suku kata seperti ma [mama] dan pa [papa]. Semakin beranjak umur anak tersebut, anak sudah mulai menghasilkan satu kata yang berkaitan dengan aktivitas dan lingkungannya. Semakin berproses lebih lanjut, anak sudah mulai mengahsilkan tuturan dalam dua kata ketika berumur 18-20 bulan.
Bahasa yang digunakan oleh anak lebih tidak baku, dan juga menghilangkan fungtor atau kata tugas, kata-kata yang tetap dipertahankan oleh anak adalah kata-kata yang tergolong kontentif atau kata penuh. Penghilangan yang dilakukan oleh anak dianggap sebagai suatu strategi menguasai kaidah tata bahasa berikutnya. Ketika anak sudah berusia 2-3 tahun sudah dapat mengahasilkan ujaran yang telegrafis sebagai awal perkembangan ujaran untuk menyerupai ujaran orang dewasa. Namun, ketika anak berusia 7 tahun yang menandakan bahwa anak harus memulai kehidupan dan pemerolehan bahasa secara lebih kompleks di lingkungan sekolah, dapat menyulitkan anak untuk mempelajari struktur bahasa apabila B1 dan B2 yang menjadi pengantar di sekolah itu berbeda. Tetapi itu hanya bersifat sementara karena lambat laun anak akan terbiasa.
Contoh bahasa anak-anak,
Bahasa yang digunakan oleh anak-anak jauh berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh orang yang umurnya di atas mereka. Bahasa anak-anak memberlakukan penghilangan fungtor atau kata tugas tadi karena penyederhanaan. Di samping itu, bahasa yang mereka gunakan tetap berkaitan dengan aktivitas yang mereka lakukan, bermain, kegemaran mereka. Misalnya ketika bermain boneka, anak akan berkata, ‘Saya cantik’, ketika anak merasa lapar, anak hanya berkata ‘mama makan’, nah Ibunya sudah memahami bahwa anaknya itu lapar.
  b. Bahasa remaja
Bahasa remaja berkaitan dengan masa remaja yang merupakan masa atau kehidupan manusia yang mengesankan bahkan tidak terlupakan. Bahasa yang digunakan oleh remaja tidak sedikit merupakan bahasa yang mereka produksi sendiri, karena anak sudah mulai mengenal apa yang sebelumnya mereka tidak ketahui, remaja selalu ingin mencoba pengalaman-pengalaman yang belum pernah mereka lakukan, membentuk kelompok-kelompok tertentu, berpetualang, dan juga lingkungan tempat mereka beraktivitas. Dari kesemuanya itu dapat menciptakan bahasa-bahasa tertentu yang berkaitan dengan kelompoknya, tetapi tidak terlepas dari bahasa yang mereka kuasai sebelumnya. Mereka menganggap bahwa bahasa mereka hanya berlaku untuk kelompoknya sehingga itu bersifat rahasia, hanya orang-orang yang tergabung dalam kelompok mereka yang mengerti. 
Contoh bahasa remaja
Bentuk bahasa remaja yang mereka sepakati, yaitu penyisipan konsonan vokal dalam kata yang dipakai yang diletakkan di belakang setiap suku kata, vokal yang di belakang sesuai dengan vokal suku kata yang disisipi, misalnya kata mati disisipin (ma+va+ti+vi) yang jadinya mavativi. Selanjutnya, penggantian suku akhir dengan –sye, suka kata terakhir dihilangkan dan yang diambil hanya suku pertama kemudian ditambahkan –sye, misalnya kata kunci dihilangkan suku terakhirnya menjadi kunsye. Tidak hanya itu, bahasa yang mereka ciptakan juga dapat berupa kata yang hanya mebalik kata tersebut atau membacanya dari belakang, misalnya kata tampan dibalik menjadi nampat.
  c. Bahasa orang dewasa
Bahasa orang dewasa lebih kompleks dan lebih terstruktur sebagaimana bahasa yang telah diperoleh atau dipelajari sebelumnya. Orang dewasa sudah dapat bercerita dengan lebih panjang, sudah mampu mengolah kata dan memperhatikan penggunaan bahasa yang baik dan benar dalam pergaulan. Pengetahuan akan bahasanya lebih banyak, istilah-istilah yang digunakanpun berbeda dengan remaja karena lebih berkaitan dengan aspek kehidungan, aktivitas, dan juga profesi.  
Contoh bahasa orang dewasa
Orang dewasa beraktivitas di rumah dia sudah mampu menyesuaikan pembicaraan yang dilakukan dengan keluarga dan tidak membawa urusan kantor atau berkaitan dengan profesinya. Tidak hanya itu, bahasa orang dewasa yang lebih berbobot dan terstruktur, menggunakan bahasa yang baik dan benar sehingga terkadang bahasa orang dewasa dapat menjadi contoh untuk orang lain.

Sumarsono. 2008. Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA.

Contoh Perbedaan Bahasa Wanita dan Laki-laki

 Contoh Perbedaan Bahasa Wanita dan Laki-laki

Contoh perbedaan bahasa yang digunakan oleh laki-laki dan wanita dalam bahasa daerah Bugis. Dalam lingkup keluarga saya, bahasa yang digunakan oleh Ibu itu berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh Bapak. Misalnya ketika Ibu menyuruh saya untuk mengambilkan sesuatu, Ibu berkata ‘Nak, alangakka cedde ya ro barange (Nak, tolong ambilkan barang itu)’, sedangkan ketika Bapak menyuruh akan berkata ‘Temma, alakka ya ro do barange (Temma, ambilkan barang itu)’. Dari segi struktur kata menyuruhnya sudah berbeda, Ibu bahasanya lebih terstruktur dan menggunakan sapaan, sedangkan Bapak tidak terstruktur dan menyebut nama bukan menggunakan sapaan. Ibu lebih sopan santun, suara Ibu lebih lembut dan lamban sehingga bahasa yang dihasilkan juga lebih sopan dibandingkan dengan suara Bapak yang menghasilkan bahasa cenderung lebih kasar. Dalam hal intonasi, intonasi yang digunakan Ibu dalam berucap lebih memanjang pada bagian akhir kalimat dan mendayu, sedangkan intonasi Bapak lebih cepat dan pendek yang menyebabkan bahasanya singkat dan langsung pada intinya.

Perbedaan Bahasa Wanita dan Laki-laki

Perbedaan Bahasa Wanita dan Laki-laki

Pada dasarnya, bahasa wanita dan laki-laki memiliki perbedaan. Menurut Sumarsono (2008: 97) keragaman bahasa berdasarkan jenis kelamin timbul karena bahasa sebagai gejala sosial erat hubungannya dengan sikap sosial. Secara sosial pria dan wanita berbeda karena masyarakat menentukan peranan sosial yang berbeda untuk mereka, dan masyarakat mengaharapkan pola tingkah laku yang berbeda. Kenyataan sosial ini dicerminkan melalui bahasa. Tutur perempuan bukan hanya berbeda, melainkan juga lebih  “benar”. Menurut Sumarsono (2008: 97) fenomena tersebut merupakan pencerminan kenyataan sosial, pada umumnya dari pihak perempuan diharapkan tingkah laku sosial yang lebih benar. Bahasa wanita dan laki-laki memiliki banyak perbedaan salah satunya adalah dari segi suara dan intonasi. Volume suara laki-laki relatif lebih besar dari pada wanita. Dalam dunia seni, suara wanita dan laki-laki itu dibedakan atas berapa golongan. Pada wanita, suaranya tergolong pada suara alto dan sopran, sedangkan suara laki-laki tergolong pada suara tenor dan bas. Perbedaan golongan suara itu disebabkan karena organ-organ penghasil suara itu juga berbeda. Tidak hanya itu,apabila dikaitkan dengan tata karma, nilai sosial dan sopan santun, suara wanita lebih lembut dan lamban sehingga bahasa yang dihasilkan juga lebih sopan dibandingkan dengan suara pria yang menghalikan bahasa cenderung lebih kasar. Dalam hal intonasi, intonasi yang digunakan wanita dalam berucap lebih memanjang pada bagian akhir kalimat, mendayu atau manja, sedangkan intonasi pria lebih cepat dan pendek yang menyebabkan bahasanya singkat dan langsungn pada intinya. 
Tidak hanya dari segi suara dan intonasi saja yang membedakan bahasa wanita dan laki-laki tetapi dapat juga dilihat dari segi tataran mikro linguistik yaitu fonologi, morfologi, kosa kata, dan kalimat. Dari segi fonologi, posisi vokal ada tutur wanita dalam banyak logat atau ragam bahasa ditemukan posisinya lebih meminggir atau menepi (lebih ke depan, ke belakang, lebih tinggi, atau lebih rendah) dibandingkan dengan vokal laki-laki. Misalnya dalam bahasa Yukaghir, ada dua fonem yang khusus untuk laki-laki dan wanita yang dapat memberikan perbedaan yang jelas. Kedua fonem tersebut dilafalkan sama pada anak-anak dan juga wanita dewasa, tetapi berbeda pada wanita yang usia tua. Sedangkan pada laki-laki, kedua fonem yang dilafalkan pada waktu anak-anak berbeda ketika sudah dewasa dan berbeda pula pada waktu mereka sudah tua. Dari segi tataran morfologi dan kosa kata, wanita lebih hati-hati terhadap pemilihan kata mereka yang menggunakan kata-kata baku, sedangkan laki-laki tidak karena lebih banyak menggunakan kata-kata yang tidak baku. Tidak hanya itu, kalimat yang digunakan oleh perempuan cenderung panjang, bertele-tele, dan terstruktur, sedangkan kalimat yang digunakan oleh laki-laki cenderung langsung pada inti yang ingin disampikan. Inti dari perbadaan bahasa antara laki-laki dan perempuan itu terletak suasana pembicaraan, topik pembicaraan, dan pemilihan kata yang dipergunakan.

Sumarsono. 2008. Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA.

Sabtu, 07 Februari 2015

Contoh Interferensi

Contoh Interferensi

Contoh terjadinya interferensi dalam suatu bahasa yaitu bahasa Bugis ke dalam bahasa Indonesia.
Dari segi fonologi, penutur bahasa asli Bugis melakukan interferensi pada sistem fonologi bahasa Indonesia ketika menyebut kata yang berakhiran dengan konsonan karena dalam bahasa bugis hanya ada tiga fonem akhir yaitu vokal, velar nasal /ŋ/, dan glottal plosif /?/. Kata yang berakhiran dengan fonem alveolar nasal /n/. Penutur bahasa Indonesia yang berasal dari Bugis selalu menambahkan bunyi velar nasal /ŋ/ dibelakang kata yang diakhiri dengan bunyi alveolar nasal /n/. Misalnya pada kata [ikaŋ], [depaŋ], [Pelajaraŋ], [koraŋ], [galoŋ], begitupun dengan dan kata-kata yang diakhiri dengan fonem velar plosif  /k/ menjadi glottal plosif /?/ misalnya pada kata, [banya?], [ana?], [handu?], [bota?], dan kata-kata yang lain.
Interferensi dari segi morfologi berkaitan dengan penggunaan afiks khususnya prefiks yang melekat pada awal kata. Misalnya prefiks MaG- dalam bahasa Bugis ketika bertutur dalam bahasa Indonesia sering mengikut, untuk kata bicara menjadi mabbicara, terkadang juga, ketika berbahasa Indonesia beberapa partikel dalam bahasa Bugis sering menempel, seperti –ki, -ji, -pi, -ta, dan –ki. Misalnya pada kata janganki, mauki, apata, siapaji, dan kata-kata yang lain.
 Interferensi dari segi sintaksis terjadi pada cara penyusunan kata. Misalnya kalimat dalam bahasa Indonesia dari seorang bilingual Bugis-Indonesia dalam berbahasa Indonesia. Kalimat itu “Dia melihat sudah lenyap semua padinya”. Kalimat tersebut berstruktur bahasa Bugis, sebab dalam bahasa Bugis bunyinya adalah “Nitani lennyek maneng asena”, tetapi kalimat yang keluar seperti itu karena mengikuti struktur bahasa Bugis, yang seharusnya “Dia sudah melihat padinya lenyap semua”.
Dari aspek leksikon, seorang penutur bahasa yang bilingual untuk bahasa Bugis dan Indonesia juga terkadang terjadi interferensi ketika berbahasa yang berkaitan dengan perbendaharaan kata yang dimiliki oleh penutur. Misalnya dalam kalimat “penyakina pole-poleng”, yang dapat berarti “sakitnya datang” atau “sakitnya kambuh”. Atau kata yang lain, seperti “matei neneku”, jika diartikan sesuai dengan bahasa Bugis maka akan berarti bahwa “nenekku mati”, tetapi kata mati digunakan untuk hewan atau binatang. Jadi, yang seharusnya adalah “neneku meninggal”, dan jika disesuaikan dengan jasanya maka dapat juga berarti “neneku wafat” dan sebagainya.

Pengertian Interferensi

 Pengertian Interferensi

Interferensi adalah terjadinya pencampuran dua bahasa yang dilakukan oleh bilingual. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Weinreich (1953, dalam Chaer dan Lionie, 1995: 159) bahwa interferensi adalah adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Hal senada juga diungkapkan oleh Hartman dan Stonk (dalam Chaer dan Lionie, 1995: 160) yang mengatakan bahwa interferensi itu bukannya menimbulkan ‘pengacauan’ atau ‘kekacauan’, melainkan kekeliruan, yang terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa atau dialek kedua. Lebih lanjut Suwito (dalam Wijana dan Rohmadi, 2006: 181) mengatakan bahwa interferensi merupakan peristiwa pemakaian unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa lain yang terjadi dalam diri penutur. Tidak jauh berbeda dari penjelasan sebelumnya, Kridalaksana (2008: 95) juga mengatakan bahwa interferensi adalah penggunaan unsur bahasa lain oleh bahasawan yang bilingual secara individual dalam suatu bahasa, tetapi ciri-ciri akan bahasa lain itu masih kentara. Dari beberapa pendapat mengenai interferensi tersebut, dapat disimpulkan bahwa interferensi adalah terjadinya persentuhan bahasa dengan unsur-unsur bahasa lain dalam dua bahasa oleh penutur yang bilingual, tetapi ciri-ciri bahasa yang satu masih jelas.



Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2006. Sosiolinguisti: Kajian Teori dan Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Contoh atau Wujud Variasi Bahasa dari Segi Fonologi, Morfologi, Sintaksis, dan Leksikon

Wujud atau Contoh Variasi Bahasa
Contoh wujud variasi bahasa dari segi penutur yaitu berkaitan dengan dialek. Chaer dan Lionie (2010: 63) mengemukakan bahwa dialek merupakan variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada satu tempat, wilayah, atau area tertentu. Percakapan berikut merupakan contoh variasi bahasa Bugis dialek Sinjai.

A.    Tegaki elo[k] lao?
B.     Elo[k] ka lao ri bolana Puang Yasse.
A.    Maega wita tau lao ku ro, mabbaju lotong sibawa mallipa, aga di jama ri bolana Puang Yasse?
B.     Matei wennie.
A.    Cinampe’pi iya ulao, manrei Ambo’ku jolo.
B.     Tegai pale anrimmu?
A.    Engkai diaha.
Dari percakapan di atas, dapat dilihat beberapa ciri-ciri bahasa Bugis. Terdapat beberapa perbedaan baik dari segi bunyi (fonologi), bentuk kata (morfologi), susunan kalimat (sintaksis), dan pilihan kata (leksikon).
  1. Ciri-ciri dari segi fonologi: Penutur bahasa Bugis dialek Sinjai tidak dapat menyebut fonem /w/. Apabila terdapat fonem /w/ dalam kata maka fonem tersebut akan diganti dengan fonem /h/. ciri tersebut terlihat pada kata [diaha]. Yang sebenarnya dalam bahasa Bugis Standar adalah [diawa], tetapi karena tidak mampu menyebut fonem /w/ maka diganti menjadi fonem /h/. Selain itu, penutur bugis juga tidak dapat menyebut fonem velar plosif /k/ pada akhir kata seperti yang terlihat pada kata [elo’] yang berakhiran dengan fonem /k/ sehingga fonem /k/ tersebut berubah menjadi glottal plosif /?/.
  2. Ciri-ciri dari segi morfologi: beberapa kata dalam bahasa Bugis mendapatkan afiks atau imbuhan. Misalnya terlihat pada kata [mallipa], kata tersebut terbentuk dari afiks [ma-] + [lipa]. Afiks ma-  melekat pada bentuk dasar [lipa]. Afiks yang melekat pada beberapa konsonan tertentu termasuk pada fonem /l/ maka fonem awal dari kata tersebut yaitu fonem /l/ akan menjadi tebal atau geminasi [mallipa].
  3. Ciri-ciri sintaksis: Penutur bahasa Bugis dalam tuturan sehari-hari menggunakan pola susunan kalimat yaitu VSO, namun dalam bahasa Bugis Standar, pola kalimat yang sebenarnya yaitu SVO. Pola susunan kalimat VS tersebut terlihat pada kalimat “manrei (V) Ambo’ku (S)” yang maknanya “Bapakku lagi makan”. Jika menggunakan pola kalimat SVO dalam bahasa Bugis Standar, maka kalimat tersebut akan berubah menjadi “Ambo’ku manrei”.
  4. Ciri-ciri dari segi leksikon: Bahasa Bugis memiliki banyak kosa kata, sama halnya dengan bahasa-bahasa yang lain. Kosa kata tersebut disesuaikan dengan siapa yang bertutur, dengan siapa bertutur, apa yang dituturkan dan juga disesuaikan dengan konteks tuturan itu. Kata [matei] untuk menyatakan orang yang meninggal tidak tepat ketika orang yang meninggal tersebut adalah seorang Bangsawan atau Raja maka harus menggunakan kata [mallinrung].

Pengertian variasi bahasa

Pengertian Variasi Bahasa
         Pengertian variasi bahasa menurut Chaer dan Lionie (2010: 62) yaitu keragaman bahasa yang disebabkan oleh adanya kegiatan interaksi sosial yang dilakukan oleh masyarakat atau kelompok yang sangat beragam dan dikarenakan oleh para penuturnya yang tidak homogen. Menurut Allan Bell (dalam Coupland dan Adam, 1997:240) variasi bahasa adalah salah satu aspek yang paling menarik dalam sosiolinguistik. Prinsip dasar dari variasi bahasa ini adalah penutur tidak selalu berbicara dalam cara yang sama untuk semua peristiwa atau kejadian. Ini berarti penutur memiliki alternatif atau pilihan berbicara dengan cara yang berbeda dalam situasi yang berbeda. Cara berbicara yang berbeda ini dapat menimbulkan makna sosial yang berbeda pula. Terjadinya keragaman dan kevariasian bahasa sebagai akibat dari penutur yang heterogen, tetapi juga karena interaksi yang dilakukan oleh penutur tersebut beragam. Keragaman bahasa ini terus bertambah karena bahasa tersebut digunakan oleh orang yang sangat banyak dan juga dalam wilayah yang luas. Chaer dan Lionie (1995: 81) mengemukakan dua pandangan terjadinya variasi atau ragam bahasa ini, yaitu: pertama, variasi atau ragam bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Kedua, variasi atau ragam bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang berakenaragam. 
Dalam buku Nababan (1984) menguraikan beberapa variasi bahasa. Variasi bahasa terdiri atas beberapa jenis yang dapat disesuaikan dan didasarkan pada segi penutur dan penggunaannya yaitu variasi dari segi penutur, variasi dari segi pemakaian, variasi dari segi keformalan, dan variasi dari segi sarana.

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta
                     . 1995. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta
Coupland, Nikolas dan Adam Jaworski. 1997. Sosiolinguistics: A Reader and  Coursebook. England: Macmillan Press LTD.
Nababan. 1984. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.

Jumat, 09 Januari 2015

Hubungan Ilmu dan Kebudayaan

Hubungan Ilmu dan Kebudayaan
A.    Ilmu
1.      Pengertian Ilmu
Ilmu tidak pernah terlepas dari kehidupan. Adapun yang dimaksud dengan ilmu berdasarkan asal katanya yaitu Kata “ilmu” berasal dari bahasa arab alima - ya’lamu – ‘ilman yang berarti mengetahui, memahami. Dalam bahasa Inggris disebut science, dari bahasa latin yang berasal dari scientia yang berarti pengetahuan atau scire yang berarti mengetahui. Sedangkan dalam Yunani adalah episteme yang berarti pengetahuan. Jadi, dari beberapa asal kata mengenai ilmu tersebut, dapat disimpulakan bahwa ilmu memiliki arti mengetahui baik dari bahasa Arab, Latin, Inggris dan Yunani.
Tidak hanya dari asal kata mengenai ilmu tersebut. Ilmu juga dijelaskan oleh beberap ahi secara terperinci.
a.  Alwi (2008) yang menjelaskan pengertian ilmu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang tersusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk  menerangkan gejala-gejala tertentu dibidang itu.
b. Jujun (2003: 11) mengungkapkan hal senada bahwa ilmu merupakan bagian dari pengetahuan dan pengetahuan merupakan unsur dari kebudayaan.
c.     Mundiri (2012: 5) juga mengatakan dalam bukunya tentang ilmu adalah tindak lanjut dari pengetahuan yang membutuhkan pembuktian dengan metode yang tersistematis.
d.  Tim Dosen Filsafat Ilmu (2012: 22) berpendapat bahwa ilmu adalah kumpulan pengetahuan yang memiliki syarat-syarat tertentu berupa objek baik objek material maupun objek formal.
Dari beberapa pengertian para ahli mengenai ilmu, dapat disimpulkan bahwa ilmu adalah kajian mendalam terhadap pengetahuan yang membutuhkan penjelasan secara sistematis dengan menggunakan metode-metode tertentu sebagai alat pembuktiannya. Dan jika dihubungkan dengan kebudayaan maka dapat disimpulkan bahwa ilmu membutuhkan penjelasan lebih lanjut tentang ilmu dan juga merupakan unsur dari kebudayaan.
2.      Pengetahuan
Pengertian pengetahuan dijelaskan oleh Lasiyo (2014) bahwa pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep dan pemahaman yang dimiliki manusia tetang dunia dan segala isinya, termasuk manusia dan kehidupannya. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa pengetahuan itu adalah hasil dari upaya mengetahui tentang dunia dan segala isinya.
Jenis pengetahuan ada empat menurut Ibrahim (2008) yang terjabarkan sebagai berikut:
a.   Pengetahuan biasa (common sense) merupakan pengetahuan yang digunakan terutama untuk kehidupan sehari-hari, tanpa mengetahui seluk beluk yang sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya.
b.  Pengetahuan Ilmiah atau disebut dengan ilmu merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan cara khusus, bukan hanya untuk digunakan saja tetapi ingin mengetahui lebih dalam dan luas mengetahui kebenarannya, tetapi masih berkisar pada pengalaman.
c.   Pengetahuan filsafat merupakan pengetahuan yang tidak mengenal batas, sehingga yang dicari adalah sebab-sebab yang paling dalam dan hakiki samapai diluar dan diatas pengalaman biasa.
d.     Pengetahuan agama merupakan suatu pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat para Nabi dan Rosul-Nya. Pengetahuan ini bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para pemeluk agama.
Pembagian ilmu berdasar pada sumber pengetahuan, sebagaimana dijelaskan oleh Mundiri (2012) sebagai berikut:
a.    Aposteriori adalah ilmu pengetahuan yang bersumber pada pengalaman dan eksperimen. Ilmu pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman inderawi dan disebut dengan empirisme seperti ilmu Kimia, ilmu Alam, ilmu Hayat, ilmu Kesehatan dan ilmu-ilmu lainnya.
b.    Apriori adalah ilmu yang tidak kita peroleh dari pengalaman dan percobaan tapi bersumber pada akal itu sendiri. Jadi, kebenaran ilmu tidak dapat ditemukan dan dikembalikan pada data empiris sebagaimana ilmu-ilmu aposteriori.
3.     Manfaat Ilmu
Ilmu yang telah diperoleh dari hasil eksperimen atau pembuktian memiliki manfaat terhadap kehidupan manusia maupun terhadap perkembangan ilmu itu sendiri, manfaat dari ilmu tersebut antara lain:
a. Ilmu telah banyak membantu manusia dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu juga menghasilkan kebudayaan.
b.     Ilmu mengubah cara manusia dalam bekerja dan berpikir.
c.      Ilmu memberikan sumbangan keserasian dalam pergaulan antar-insan
Dari manfaat ilmu tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa ilmu itu terus mengalami perkembangan sering dengan kemajuan zaman dan tuntutan kehidupan. Ilmu selalu hadir dengan inovasi-inovasi baru yang diciptakan dari kreatifitas untuk menunjang aktivitas manusia dan kehidupan.
B.     Kebudayaan
1.      Pengertian Kebudayaan menurut beberapa ahli
a.   Taylor (dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2010: 155) mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan dan kebiasaan lain yang dibutuhkan manusia sebagai anggota masyarakat.
b.      Menurut Jujun (2003) kebudayaan diartikan sebagai perangkat sistem nilai, tata hidup dan sarana bagi manusia dalam kehidupan.
c.    Djojodigono (1958) memberikan definisi mengenai kebudayaan adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah seperangkat sistem nilai, tata hidup, dan sarana bagi manusia dalam kehidupan yang berupa cipta, rasa, dan karsa.
2.      Hakikat Kebudayaan
Hakikat kebudayaan ada empat yaitu:
a.       Kebudayaan terwujud dan tersalurkan dari perilaku manusia.
b.      Kebudayaan itu ada sebelum generasi lahir dan kebudayaan itu tidak dapat hilang setelah generasi tidak ada.
c.       Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya.
d.      Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang memberikan kewajiban-kewajiban.
Dari keempat hakikat kebudayaan tersebut, diketahui bahwa kebudayaan menjadi identitas manusia. Kebudayaan bersifat turun-temurun yang diwariskan dari generasi ke generasi, kebudayaan itu sudah ada sebelum kita lahir karena sudah dimiliki oleh orang-orang terdahulu, dan setelah kita tidak ada, kebudayaan itu akan tetap ada karena kita juga akan meariskannya kepada generasi. Tidak hanya itu, kebudayaan berperan untuk mengontrol karena terdapat aturan di dalamnya.
3.      Komponen Kebudayaan
Komponen kebudayaan mencirikan klasifikasi tiga bagian wilayah kebudayaan yaitu:
a.  Hubungan antara manusia dan alam,yang berkaitan dengan kemampuan manusia mempertahankan kelangsungan hidupnya “material”.
b.    Hubungan antara manusia yang terkait dengan hasrat dan upaya untuk meraih status dan hasil dalam kebudayaan masyarakat.
c.       Aspek-aspek yang berkaitan dengan spiritual.
4.      Unsur-unsur Kebudayaan
Unsur-unsur yang terdapat dalam sebuah kebudayaan ada tujuh yaitu:
a.    Bahasa merupakan hal yang terpenting bagi manusia, sebagai alat untuk berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain atau berhubungan dengan sesamanya, sebagai suatu pemenuhan kebutuhan social.
b.  Sistem pengetahuan. Manusia dibekali oleh akal dan pikiran sehingga berusaha untuk mencari tahu jawaban akan pertanyaan apa, bagaimana, dan mengapa suatu hal tersebut terjadi.
c.  Sistem kekerabatan dan organisasi sosial adalah usaha manusia untuk membentuk masyarakan melalui kelompok kecil atau kelompok sosial sehingga terjalin sebuah kekerabatan yang sadar akan dirinya yang tidak dapat bertahan hidup sendiri dan memiliki kepentingan yang sama.
d.     Sistem peralatan hidup dan teknologi yang lahir dan timbul karena manusia dibekali oleh akal sehingga berpikir untuk menciptakan sesuatu yang bermanfaat untuk kehidupan.
e.  Sistem ekonomi dan mata pencaharian. Untuk mencukupi kebutuhan hidup, manusia memiliki berbagai cara mata pencaharian untuk menjaga kelangsungan hidupnya.
f.    Sistem religi. Kepercayaan manusia terhadap adanya Sang Maha Pencipta yang muncul karena kesadara bahwa ada zat yang lebih dan maha kuasa sehingga manusia melakukan berbagai cara untuk berkomunikasi dengan kekuatan supranatural tersebut.
g.  Kesenian. Manusia juga memerlukan sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan psikis mereka sehingga lahirlah kesenian.
5.      Sifat kebudayaan
Bukan hanya manusia, kebudayaan juga memiliki sifat sebagaimana terterah pada berikut ini:
a. Etnosentris adalah persepsi yang dimiliki oleh individu dan menganggap bahwa kebudayaannya yang terbaik dibandingkan dengan kebudayaan yang lain.
b.    Universal artinya kebudayaan itu bersifat umum (berlaku untuk semua orang atau untuk seluruh dunia).
c.     Akulturasi merupakan perpaduan atau percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempenaruhi sehingga terbentuk kebudayaan yang baru.
d.      Adaptif berarti bahwa kebudayaan itu selalu mampu menyesuaikan diri.
e.      Dinamis (Flexibel) artinya bahwa kebudayaan itu terus mengalami perkembangan seiring dengan semakin berkembangnya kehidupan, dan kebudayaan itu dapat ditempatkan dan mengikut atau sesuai dengan keberadaannya.
f.     Integratif (integrasi) artinya kebudayaan itu memadukan semua unsur yang dapat mencapai suatu keserasian fungsi dalam kehidupan masyarakat.
6.      Fungsi Kebudayaan
Kebudayaan berfungsi sebagai:
a.       Suatu hubungan pedoman antarmanusia atau kelompok.
b.      Wadah untuk menyatukan perasaan-perasaan dan kehidupan lainnya.
c.       Pembimbing kehidupan manusia.
d.      Pembeda antar manusia dan binatang.
Secara garis besar, fungsi kebudayaan adalah untuk mengatur manusia agar dapat mengetahuai bagaimana seharusnya bertindak dan berbuat serta bersikap ketika berhubungan dengan orang lain di dalam kehidupan.
7.      Wujud kebudayaan
Wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga yaitu:
a.  Gagasan (wujud ideal) adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya yang sifatnya abstrak.
b.   Aktivitas (tindakan) adalah aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta begaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat teta kelakuan.
c.     Artefak (karya) adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan dan karya berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diindrai.

C.    Hubungan Ilmu dan kebudayaan
Hubungan antara ilmu dan kebudayaan yaitu keduanya saling menunjang satu sama lain, sebagaimana diungkapkan oleh (Jujun,2003:272) bahwa ilmu dan budaya merupakan dua aspek yang saling mempengaruhi dan saling tergantung. Ketidakterlepasan itu terlihat dari pernyataan bahwa ilmu merupakan bagian dari kebudayaan, sedangkan eksistensi suatu budaya juga ditunjang dan dipengaruhi oleh perkembangan ilmu tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ilmu dan kebudayaan dapat diibaratkan sebagai dua sisi mata uang logam yang tidak dapat terpisahkan keberadaannya.



Daftar Pustaka
Ben. 2012. Ilmu Budaya Dasar (online). http://ilmu-budayadasar.blogspot.com/2012/12/unsur-fungsi-hakikat-dan-sifat.html . Diakses 6 November 2014.
Ibrahim, Slamet. 2008. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Sekolah Farmasi ITB Bandung: PPT
Lasiyo. 2014. Pemikiran Filsafat. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta: PPT Bahan Ajar.
Mundiri. 2012. Logika. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Ravertz Jerome.R. 2009. Filsafat Ilmu Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suriasumantri, Jujun.S. 2003. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Tafsir Ahmad. 2012. Filsafat Ilmu. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. 2010. Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.