Contoh Interferensi
Contoh terjadinya interferensi dalam suatu bahasa
yaitu bahasa Bugis ke dalam bahasa Indonesia.
Dari
segi fonologi, penutur bahasa asli Bugis melakukan interferensi pada sistem
fonologi bahasa Indonesia ketika menyebut kata yang berakhiran dengan konsonan
karena dalam bahasa bugis hanya ada tiga fonem akhir yaitu vokal, velar nasal
/ŋ/, dan glottal plosif /?/. Kata yang berakhiran dengan fonem alveolar nasal
/n/. Penutur bahasa Indonesia yang berasal dari Bugis selalu menambahkan bunyi
velar nasal /ŋ/ dibelakang kata yang diakhiri dengan bunyi alveolar nasal /n/.
Misalnya pada kata [ikaŋ], [depaŋ], [Pelajaraŋ],
[koraŋ], [galoŋ], begitupun dengan dan kata-kata yang diakhiri dengan fonem
velar plosif /k/ menjadi glottal plosif
/?/ misalnya pada kata, [banya?], [ana?],
[handu?], [bota?], dan kata-kata yang lain.
Interferensi
dari segi morfologi berkaitan dengan penggunaan afiks khususnya prefiks yang
melekat pada awal kata. Misalnya prefiks MaG-
dalam bahasa Bugis ketika bertutur dalam bahasa Indonesia sering mengikut,
untuk kata bicara menjadi mabbicara, terkadang juga, ketika
berbahasa Indonesia beberapa partikel dalam bahasa Bugis sering menempel,
seperti –ki, -ji, -pi, -ta, dan –ki. Misalnya pada kata janganki, mauki, apata, siapaji, dan
kata-kata yang lain.
Interferensi
dari segi sintaksis terjadi pada cara penyusunan kata. Misalnya kalimat dalam
bahasa Indonesia dari seorang bilingual Bugis-Indonesia dalam berbahasa
Indonesia. Kalimat itu “Dia melihat sudah lenyap semua padinya”. Kalimat
tersebut berstruktur bahasa Bugis, sebab dalam bahasa Bugis bunyinya adalah
“Nitani lennyek maneng asena”, tetapi kalimat yang keluar seperti itu karena
mengikuti struktur bahasa Bugis, yang seharusnya “Dia sudah melihat padinya
lenyap semua”.
Dari aspek leksikon,
seorang penutur bahasa yang bilingual untuk bahasa Bugis dan Indonesia juga
terkadang terjadi interferensi ketika berbahasa yang berkaitan dengan
perbendaharaan kata yang dimiliki oleh penutur. Misalnya dalam kalimat
“penyakina pole-poleng”, yang dapat berarti “sakitnya datang” atau “sakitnya
kambuh”. Atau kata yang lain, seperti “matei neneku”, jika diartikan sesuai
dengan bahasa Bugis maka akan berarti bahwa “nenekku mati”, tetapi kata mati digunakan untuk hewan atau
binatang. Jadi, yang seharusnya adalah “neneku meninggal”, dan jika disesuaikan
dengan jasanya maka dapat juga berarti “neneku wafat” dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar