Sabtu, 07 Februari 2015

Contoh Interferensi

Contoh Interferensi

Contoh terjadinya interferensi dalam suatu bahasa yaitu bahasa Bugis ke dalam bahasa Indonesia.
Dari segi fonologi, penutur bahasa asli Bugis melakukan interferensi pada sistem fonologi bahasa Indonesia ketika menyebut kata yang berakhiran dengan konsonan karena dalam bahasa bugis hanya ada tiga fonem akhir yaitu vokal, velar nasal /ŋ/, dan glottal plosif /?/. Kata yang berakhiran dengan fonem alveolar nasal /n/. Penutur bahasa Indonesia yang berasal dari Bugis selalu menambahkan bunyi velar nasal /ŋ/ dibelakang kata yang diakhiri dengan bunyi alveolar nasal /n/. Misalnya pada kata [ikaŋ], [depaŋ], [Pelajaraŋ], [koraŋ], [galoŋ], begitupun dengan dan kata-kata yang diakhiri dengan fonem velar plosif  /k/ menjadi glottal plosif /?/ misalnya pada kata, [banya?], [ana?], [handu?], [bota?], dan kata-kata yang lain.
Interferensi dari segi morfologi berkaitan dengan penggunaan afiks khususnya prefiks yang melekat pada awal kata. Misalnya prefiks MaG- dalam bahasa Bugis ketika bertutur dalam bahasa Indonesia sering mengikut, untuk kata bicara menjadi mabbicara, terkadang juga, ketika berbahasa Indonesia beberapa partikel dalam bahasa Bugis sering menempel, seperti –ki, -ji, -pi, -ta, dan –ki. Misalnya pada kata janganki, mauki, apata, siapaji, dan kata-kata yang lain.
 Interferensi dari segi sintaksis terjadi pada cara penyusunan kata. Misalnya kalimat dalam bahasa Indonesia dari seorang bilingual Bugis-Indonesia dalam berbahasa Indonesia. Kalimat itu “Dia melihat sudah lenyap semua padinya”. Kalimat tersebut berstruktur bahasa Bugis, sebab dalam bahasa Bugis bunyinya adalah “Nitani lennyek maneng asena”, tetapi kalimat yang keluar seperti itu karena mengikuti struktur bahasa Bugis, yang seharusnya “Dia sudah melihat padinya lenyap semua”.
Dari aspek leksikon, seorang penutur bahasa yang bilingual untuk bahasa Bugis dan Indonesia juga terkadang terjadi interferensi ketika berbahasa yang berkaitan dengan perbendaharaan kata yang dimiliki oleh penutur. Misalnya dalam kalimat “penyakina pole-poleng”, yang dapat berarti “sakitnya datang” atau “sakitnya kambuh”. Atau kata yang lain, seperti “matei neneku”, jika diartikan sesuai dengan bahasa Bugis maka akan berarti bahwa “nenekku mati”, tetapi kata mati digunakan untuk hewan atau binatang. Jadi, yang seharusnya adalah “neneku meninggal”, dan jika disesuaikan dengan jasanya maka dapat juga berarti “neneku wafat” dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar