Jumat, 09 Januari 2015

Cara Pemerolehan Bahasa Pertama dan Kedua

Cara Pemerolehan Bahasa Pertama dan Pemerolehan Bahasa Kedua
Orang yang mampu menggunakan dua bahasa disebut bilingual. Untuk dapat menggunakan dua bahasa itu tentunya seseorang harus memiliki pemahaman atau penguasaan. Bahasa pertama yang dikuasai oleh seorang anak adalah bahasa ibunya, sedangkan bahasa lain yang diketahuinya dan mampu untuk digunakannya disebut bahasa kedua. Sebagaimana dijelaskan oleh Mackey dan Fishman (dalam Chaer, 1995: 112) bahwa bilingualism diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Hal itu sejalan dengan pendapat  Weinreich (dalam Aslinda dan Leni, 2007: 23) yang mengatakan bahwa kedwibahasaan adalah kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian. Dari dua pendapat tersebut dapat diketahui bahwa bilingualisme adalah digunakannya dua buah bahasa oleh seseorang secara bergantian dalam pergaulannya dengan orang lain.
Birner (n.d) menyatakan bahwa orang0orang menjadi bilingual salah satunya adalah dengan pemerolehan dua bahasa pada suatu waktu pada masa kanak-kanak atau melalui pembelajaran bahasa kedua yang terkadang setelah pemerolehan bahasa pertama mereka. Masa anak-anak merupakan masa yang produktif dan efektif sehingga memudahkan anak untuk belajar bahasa selain dari bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa dibagi menjadi dua yaitu pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua. Pemerolehan bahasa pertama itu dapat dilakukan dengan cara pemerolehan secara alami, sedangkan pemerolehan bahasa kedua melalui pembelajaran. Bahasa pertama atau bahasa ibu yang dikuasai oleh anak merupakan pemerolehan bahasa secara alamiah. Setiap anak sudah dibekali dengan kemampuan secara lahiriah untuk berbahasa dengan adanya alat ucap. Anak sejak kecil sudah mulai memperhatikan apa yang diucapkan oleh orang tuannya maupun orang-orang dalam keluarganya, setelah alat ucap anak kompleks maka secara perlahan akan mulai menirukan bahasa orang tuanya. Pemerolehan bahasa itu terjadi secara alamiah, tanpa di sadari dan tanpa kehendak yang terencana, dan bukan dalam situasi formal. Bahasa apa yang digunakan oleh kedua orang tuanya, itu juga yang akan dipelajari oleh anak tersebut karena anak memiliki piranti pemeroleh bahasa (Language Acquisition Device). Seorang anak tidak langsung menguasai bahasa ibunya dengan baik, melainkan harus melalui beberapa tahap sesuai dengan yang diungkapkan oleh Lenneberg, et. al, (1967) yaitu tahap vokalisasi, prabahasa, satu kata, dua kata, dan ujaran telegrafis, serta setelah tahap-tahap tersebut dilalui maka kemampuan ujaran anak akan berkembang menyerupai orang dewasa.
Penguasaan bahasa selanjutnya adalah pemerolehan bahasa kedua melalui pembelajara. Apabila seorang anak menggunakan bahasa secara bergantian dalam pergaulannya maka itulah disebut dengan bilingual. Pemerolehan bahasa kedua terbagi atas dua jenis yaitu pemerolehan yang dilakukan secara terpimpin yaitu dengan arahan guru, tutor, dan orang yang memiliki pengetahuan lebih terhadap bahasa kedua yang dipelajarai tersebut, ini dilakukan dengan cara sadar dan dalam situasi yang formal, seperti sekolah. Bahasa kedua yang diperoleh secara alamiah merupakan pemerolehan bahasa yang dilakukan secara informal yang terjadi dalam komunikasi sehari-hari dan bebas dari proses pengajaran atau arahan guru. Aktivitas dalam kehidupan sehari-hari yang dapat dilakukan untuk pemerolehan bahasa kedua selain dari percakapan dalam pergaulan juga dapat dipengaruhi oleh kebiasaan menonton televisi yang berkaitan dengan penggunaan bahasa kedua, dan juga karena kebiasaan mendengarkan seperti lagu. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pemerolehan bahasa kedua yang dikemukakan oleh Chaer (2009: 251-260) yaitu motivasi, lingkungan, usia, penyajian formal, dan faktor bahasa pertama.
Contoh ini merujuk pada Grosjean (1982) yang menjelaskan tenang beberapa contoh penyebab bilingual. Perpaduan atau penggunaan dua bahasa baik bahasa pertama maupun bahasa kedua yang dipertukarkan secara bergantian dalam pergaulan.  Misalnya, sebuah keluarga yang tinggal di suatu daerah yang bahasa pertamanya adalah bahasa daerah Bugis. Dalam kehidupan sehari-hari mengunakan bahasa Bugis untuk berinteraksi satu sama lain, begitupun dengan lingkungan sosial di mana mereka berdiam. Secara otomatis, anak mereka juga akan berbahasa Bugis sebagai bahasa pertama atau bahasa ibunya secara fasih dalam berkomunikasi. Namun, secara tidak sadar, anak itu kemudian mengetahui sedikit demi sedikit tentang bahasa Indonesia yang dia peroleh dari hasil mendengarkan atau menonton televisi. Itu merupakan proses pemerolehan bahasa kedua secara alamiah juga, tetapi, semakin tumbuh anak itu dituntut untuk mempelajari bahasa kedua secara mendalam di lingkungan sekolah karena bahasa Indonesia digunakan sebagai pengantar dalam proses belajar mengajar. Dari proses itulah, anak tersebut kemudian mempelajari bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua dengan memperoleh bahasa tersebut secara terpimpin. Dari hal tersebut, orang tua juga akan melakukan alih kode dan campur kode ketika berbicara dengan anaknya karena orang tua itu juga memiliki pemahaman terhadap bahasa Indonesia. Salah satu penyebab terjadinya hal tersebut sesuai dengan pendapat Suryanthi (2013: 2) adalah perbedaan latar belakang yang mempengaruhi pemerolehan bahasa anak, bahkan bukan hanya dua bahasa, tetapi tidak menutup kemungkinan lebih dari dua bahasa. Anak tersebut secara otomatis telah menjadi bilingual karena menggunakan dua bahasa secara bergantian dalam pergaulan, dan juga sudah dapat membedakan kapan dia berbahasa Bugis dan kapan dia harus berbahasa Indonesia. Kasus tersebut diperkuat oleh strategi yang disusun oleh Romaine (dalam Harding dan Riley, 1986: 8) yang telah mengklasifikasikan jenis utama bilingualisme anak usia dini, yang telah dipelajari dalam lima kategori, tergantung pada faktor-faktor seperti bahasa asli dari orang tua, bahasa masyarakat luas dan strategi induk. Strategi tersebut adalah one person–one language, non–dominant  home  language/one  language  one environment, non-dominant home language without community support, double non dominant home language without community support, non-native parents, and mixed-language. dari keenam strategi tersebut yang sesuai dengan kasus adalah strategi pertama yang dipadukan dengan strategi keenam. Tampaknya keluarga tersebut sukses dalam menjadikan anaknya sebagai bilingual.
Dari beberapa hal di atas, dapat disimpulkan bahwa cara anak-anak bilingual menjadi bilingual juga tergantung pada bahasa masyarakat di mana mereka tinggal dan cara orang tua untuk menjaga penggunaan bahasa yang mereka mengirimkan kepada anak-anak. Bilingualisme wajar dan tidak dapat dipungkiri terjadi, tetapi penggunaan bilingualisme dalam pergaulan harus dapat disesuaikan dengan konteks di mana bilingual itu bertutur karena perbedaan peranan dari bahasa yang dikuasai itu berbeda. Tidak hanya itu, bilingualisme dapat memperkaya kemampuan dan penguasaan terhadap bahasa, serta mempengaruhi perkembangan suatu bahasa, tetapi tidak merugikan bahasa tersebut. Yang terpenting adalah, bilingual harus mampu menerapkan bahasa yang dikuasai tersebut dengan baik.

Referensi
Aslinda and Leni, S. (2007) Pengantar Sosiolinguistik, Bandung, Refika Aditama.
Birner, Betty. (n.d.) Bilingualism, Washington, Linguistic Society of Amerika.
Chaer, Abdul. (2009) Psikolinguistik:Kajian Teoretik, Jakarta, Rineka Cipta.
Chaer, A. and Leonie, A. (1995) Sosiolinguistik: Perkenalan Awal, Jakarta, Rineka Cipta. 
Esch, H. and Riley, P. (2003) Bilingual Family, A Handbook for Parents [ebook], Cambridge, Cambridge University.


Lenneberg, E. H., Noam, C. and Otto, M. (1967) Biological Foundations of Language, New York, John Wiley & Sons.

Suryanti, Trisiani. (2013) ‘Language Use for Children In Mixed Marriage Family’, Humanis, vol. 6, no. 2 [online]. Available at http://ojs.unud.ac.id/index. php/sastra/article /view/6177 (Accessed 19 December 2014).


1 komentar: