Cara Pemerolehan Bahasa Pertama dan
Pemerolehan Bahasa Kedua
Orang yang mampu
menggunakan dua bahasa disebut bilingual. Untuk dapat menggunakan dua bahasa
itu tentunya seseorang harus memiliki pemahaman atau penguasaan. Bahasa pertama
yang dikuasai oleh seorang anak adalah bahasa ibunya, sedangkan bahasa lain
yang diketahuinya dan mampu untuk digunakannya disebut bahasa kedua.
Sebagaimana dijelaskan oleh Mackey dan Fishman (dalam Chaer, 1995: 112) bahwa
bilingualism diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam
pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Hal itu sejalan dengan
pendapat Weinreich (dalam Aslinda dan
Leni, 2007: 23) yang mengatakan bahwa kedwibahasaan adalah kebiasaan
menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian. Dari dua pendapat tersebut
dapat diketahui bahwa bilingualisme adalah digunakannya dua buah bahasa oleh
seseorang secara bergantian dalam pergaulannya dengan orang lain.
Birner (n.d) menyatakan
bahwa orang0orang menjadi bilingual salah satunya adalah dengan pemerolehan dua
bahasa pada suatu waktu pada masa kanak-kanak atau melalui pembelajaran bahasa
kedua yang terkadang setelah pemerolehan bahasa pertama mereka. Masa anak-anak
merupakan masa yang produktif dan efektif sehingga memudahkan anak untuk belajar
bahasa selain dari bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa dibagi menjadi dua yaitu
pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua. Pemerolehan bahasa
pertama itu dapat dilakukan dengan cara pemerolehan secara alami, sedangkan
pemerolehan bahasa kedua melalui pembelajaran. Bahasa pertama atau bahasa ibu
yang dikuasai oleh anak merupakan pemerolehan bahasa secara alamiah. Setiap
anak sudah dibekali dengan kemampuan secara lahiriah untuk berbahasa dengan
adanya alat ucap. Anak sejak kecil sudah mulai memperhatikan apa yang diucapkan
oleh orang tuannya maupun orang-orang dalam keluarganya, setelah alat ucap anak
kompleks maka secara perlahan akan mulai menirukan bahasa orang tuanya.
Pemerolehan bahasa itu terjadi secara alamiah, tanpa di sadari dan tanpa
kehendak yang terencana, dan bukan dalam situasi formal. Bahasa apa yang digunakan
oleh kedua orang tuanya, itu juga yang akan dipelajari oleh anak tersebut
karena anak memiliki piranti pemeroleh bahasa (Language Acquisition Device). Seorang
anak tidak langsung menguasai bahasa ibunya dengan baik, melainkan harus
melalui beberapa tahap sesuai dengan yang diungkapkan oleh Lenneberg, et. al,
(1967) yaitu tahap vokalisasi, prabahasa, satu kata, dua kata, dan ujaran
telegrafis, serta setelah tahap-tahap tersebut dilalui maka kemampuan ujaran
anak akan berkembang menyerupai orang dewasa.
Penguasaan bahasa
selanjutnya adalah pemerolehan bahasa kedua melalui pembelajara. Apabila
seorang anak menggunakan bahasa secara bergantian dalam pergaulannya maka
itulah disebut dengan bilingual. Pemerolehan bahasa kedua terbagi atas dua
jenis yaitu pemerolehan yang dilakukan secara terpimpin yaitu dengan arahan
guru, tutor, dan orang yang memiliki pengetahuan lebih terhadap bahasa kedua
yang dipelajarai tersebut, ini dilakukan dengan cara sadar dan dalam situasi
yang formal, seperti sekolah. Bahasa kedua yang diperoleh secara alamiah
merupakan pemerolehan bahasa yang dilakukan secara informal yang terjadi dalam
komunikasi sehari-hari dan bebas dari proses pengajaran atau arahan guru.
Aktivitas dalam kehidupan sehari-hari yang dapat dilakukan untuk pemerolehan
bahasa kedua selain dari percakapan dalam pergaulan juga dapat dipengaruhi oleh
kebiasaan menonton televisi yang berkaitan dengan penggunaan bahasa kedua, dan
juga karena kebiasaan mendengarkan seperti lagu. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi pemerolehan bahasa kedua yang dikemukakan oleh Chaer (2009:
251-260) yaitu motivasi, lingkungan, usia, penyajian formal, dan faktor bahasa
pertama.
Contoh ini merujuk pada
Grosjean
(1982) yang menjelaskan tenang beberapa contoh penyebab bilingual.
Perpaduan atau penggunaan dua bahasa baik bahasa pertama maupun bahasa kedua
yang dipertukarkan secara bergantian dalam pergaulan. Misalnya, sebuah keluarga yang tinggal di
suatu daerah yang bahasa pertamanya adalah bahasa daerah Bugis. Dalam kehidupan
sehari-hari mengunakan bahasa Bugis untuk berinteraksi satu sama lain,
begitupun dengan lingkungan sosial di mana mereka berdiam. Secara otomatis,
anak mereka juga akan berbahasa Bugis sebagai bahasa pertama atau bahasa ibunya
secara fasih dalam berkomunikasi. Namun, secara tidak sadar, anak itu kemudian
mengetahui sedikit demi sedikit tentang bahasa Indonesia yang dia peroleh dari
hasil mendengarkan atau menonton televisi. Itu merupakan proses pemerolehan
bahasa kedua secara alamiah juga, tetapi, semakin tumbuh anak itu dituntut
untuk mempelajari bahasa kedua secara mendalam di lingkungan sekolah karena
bahasa Indonesia digunakan sebagai pengantar dalam proses belajar mengajar.
Dari proses itulah, anak tersebut kemudian mempelajari bahasa Indonesia sebagai
bahasa kedua dengan memperoleh bahasa tersebut secara terpimpin. Dari hal
tersebut, orang tua juga akan melakukan alih kode dan campur kode ketika
berbicara dengan anaknya karena orang tua itu juga memiliki pemahaman terhadap
bahasa Indonesia. Salah satu penyebab terjadinya hal tersebut sesuai dengan
pendapat Suryanthi (2013: 2) adalah perbedaan
latar belakang yang mempengaruhi pemerolehan bahasa anak, bahkan bukan hanya
dua bahasa, tetapi tidak menutup kemungkinan lebih dari dua bahasa. Anak
tersebut secara otomatis telah menjadi bilingual karena menggunakan dua bahasa
secara bergantian dalam pergaulan, dan juga sudah dapat membedakan kapan dia
berbahasa Bugis dan kapan dia harus berbahasa Indonesia. Kasus tersebut
diperkuat oleh strategi yang disusun oleh Romaine (dalam
Harding
dan Riley, 1986: 8) yang telah mengklasifikasikan jenis utama bilingualisme
anak usia dini, yang telah dipelajari dalam lima kategori, tergantung pada
faktor-faktor seperti bahasa asli dari orang tua, bahasa masyarakat luas dan
strategi induk. Strategi tersebut adalah one person–one language,
non–dominant home language/one
language one environment,
non-dominant home language
without community support, double non – dominant
home language without community
support, non-native parents, and mixed-language.
dari keenam strategi tersebut yang sesuai dengan kasus adalah strategi pertama
yang dipadukan dengan strategi keenam. Tampaknya keluarga tersebut sukses dalam
menjadikan anaknya sebagai bilingual.
Dari beberapa hal di atas,
dapat disimpulkan bahwa cara anak-anak bilingual menjadi bilingual juga
tergantung pada bahasa masyarakat di mana mereka tinggal dan cara orang tua
untuk menjaga penggunaan bahasa yang mereka mengirimkan kepada anak-anak. Bilingualisme
wajar dan tidak dapat dipungkiri terjadi, tetapi penggunaan bilingualisme dalam
pergaulan harus dapat disesuaikan dengan konteks di mana bilingual itu bertutur
karena perbedaan peranan dari bahasa yang dikuasai itu berbeda. Tidak hanya
itu, bilingualisme dapat memperkaya kemampuan dan penguasaan terhadap bahasa,
serta mempengaruhi perkembangan suatu bahasa, tetapi tidak merugikan bahasa
tersebut. Yang terpenting adalah, bilingual harus mampu menerapkan bahasa yang
dikuasai tersebut dengan baik.
Referensi
Aslinda
and Leni, S. (2007) Pengantar
Sosiolinguistik, Bandung, Refika Aditama.
Birner,
Betty. (n.d.) Bilingualism,
Washington, Linguistic Society of Amerika.
Chaer,
Abdul. (2009) Psikolinguistik:Kajian
Teoretik, Jakarta, Rineka Cipta.
Chaer,
A. and Leonie, A. (1995) Sosiolinguistik:
Perkenalan Awal, Jakarta, Rineka Cipta.
Esch, H.
and Riley, P. (2003) Bilingual Family, A Handbook for Parents [ebook], Cambridge, Cambridge University.
Grosjean, F.
(1982). Life with Language an Introduction to
Bilingualism [online], Cambridge, Harvard
University. Available at http://www.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=
VqGpxZ9pDRgC&oi=fnd&pg=PA1&dq= Life+With+Language+An+ Introduction
+To+Bilingualism&ots=APokfECabe&sig=Q9rPoH4B5GZ9uLvTIIWt_R96xAg&rediresc=y#v=onepage&q=Life%20With%20Language%20An%20Introduction%20To%20Bilingualism&f=false
(Accessed 19 December 2014).
Lenneberg, E. H.,
Noam, C. and Otto, M. (1967) Biological
Foundations of Language, New York, John Wiley &
Sons.
Suryanti, Trisiani.
(2013) ‘Language Use for
Children In Mixed Marriage Family’, Humanis,
vol. 6, no. 2 [online]. Available at http://ojs.unud.ac.id/index.
php/sastra/article /view/6177 (Accessed 19 December 2014).
bisa minta email.ta..?
BalasHapus